Pemberantasan pungli sebenarnya bukan suatu hal baru, melalui Reformasi Birokrasi yang terus melakukan berbagai upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Salah satu upaya itu dilakukan dengan membangun Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).
Hal ini tentu saja bertujuan untuk membangaun unit layanan yang baik serta Aparatur Sipil yang akuntabel dan berintegritas tinggi. Secanggih apapun sistem pemerintahan, namun jika Sumber Daya Manusia (SDM) tidak memiliki integritas, maka praktek pungli akan tetap ada.
Dibentuknya Satgas Saber Pungli di Pemerintah Kota Pekalongan bertujuan untuk menjaga kesadaran pegawai dengan terus menjaga nilai-nilai integritas dan akuntabilitas. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya pungli adalah Akuntabilitas dan Integritas aparatur.
Nilai akubilitas atau accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana dinilai baik oleh penguna layanan/masyarakat dan dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, kepada pihak kekuasaan dimana kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sedangkan nilai Integritas adalah kunci utama untuk memberantas pungli.
Karakter integritas pada dasarnya meliputi kejujuran, kemandirian, dan kedisiplinan. Karakterkarakter inilah yang harus dimiliki agar seseorang dapat bebas dari pungli dan korupsi.
Tanpa adanya integritas dalam diri seseorang, hampir mustahil pungli dapat diberantas. Sesempurna apapun sebuah sistem akan menjadi sistem yang korup apabila dijalankan oleh orang-orang yang tidak berintegritas.
Oleh karena itu, aspek integritas dalam organisasi sektor publik harus menjadi perhatian utama sehingga dapat menghasilkan organisasi publik yang bebas dari praktek korupsi.
Pungutan liar (Pungli) termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, Dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (Tindak Pidana Korupsi), menjelaskan definisi Pungutan Liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Istilah lain yang dipergunakan oleh masyarakat mengenai pungutan liar atau pungli adalah “uang sogokan, uang pelicin, salam tempel” dan lain-lain. Pungli pada hakekatnya adalah interaksi antara petugas dengan masyarakat yang didorong oleh berbagai kepentingan pribadi.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pungli, yaitu:
- Penyalahgunaan wewenang.
Jabatan atau kewenangan seseorang dapat melakukan pelanggaran disiplin oleh oknum yang melakukan pungutan liar. - Faktor mental.
Karakter atau kelakuan dari pada seseorang dalam bertindak dan mengontrol dirinya sendiri. - Faktor ekonomi.
Penghasilan yang bisa dikatakan tidak mencukupi kebutuhan hidup tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pungli. - Faktor kultural & Budaya Organisasi.
Budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus menyebabkan pungli dan penyuapan menjadi hal biasa. - Terbatasnya sumber daya manusia.
- Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan/atasan membiarkan karena menjadi salah satu mata rantainya
Untuk mengatasi permasalahan pungli tersebut dengan menimbang bahwa praktik pungutan liar telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera.